Jumat, 20 Maret 2009

MEMAHAMI INDONESIA DENGAN ISLAM Tinjauan Sejarah Indonesia Untuk Menjawab Perdebatan Seputar Formalisasi Syariat Islam

MAJALAH KURMA
EDISI DZULQA'DAH 1428 H



MEMAHAMI INDONESIA DENGAN ISLAM:
Tinjauan Sejarah Indonesia Untuk Menjawab Perdebatan Seputar Formalisasi Syariat Islam

">

Indonesia ialah wajah baru dari Nusantara. Keterikatan historis, kultur, serta etnografi sangat erat hingga keduanya adalah sesuatu yang sama. Indonesia kita sepakati sebagai nama untuk satu wilayah dan semua yang ada diatasnya pasca 1945, sedang Nusantara kita sepakati sebagai nama untuk satu wilayah dan semua yang ada diatasnya pra 1945.

Wajah Indonesia / Nusantara sebagai sebuah komunitas selalu mencari bentuk yang paling sesuai. Sebagai sebuah komunitas terbayang (Imagined Communities: Ben Anderson), karakter merupakan satu hal terpenting dalam membangun Indonesia ke depan. Karakter secara ilmiah menjadi legitimasi dari sebuah perencanaan pembangunan Indonesia ke depan. Islam misalnya, menjadi satu karakter utama yang tidak bisa dipisahkan dari negeri Muslim (negeri yang penduduknya mayoritas Muslim) terbesar di dunia.

Satu paradoks yang terjadi di negeri muslim ini, yang menjadi perdebatan tiada henti paling melelahkan, ialah formalisasi syariat Islam sebagai hukum positif di Indonesia. Banyak pihak menuding hal itu sebagai pelanggaran terhadap ke-Indonesia-an dengan rakyatnya yang beragam. Tapi benarkah itu sebagai bentuk pelecehan terhadap agama (Islam) dan pelanggaran terhadap selain umat Islam di Indonesia?

Menjadi bangsa yang besar, Indonesia benar-benar paham bahwa salah satu kunci utamanya adalah JASMERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah). Ucapan Soekarno ini menegaskan bahwa kemajuan suatu bangsa tersebut melandaskan arah geraknya berdasarkan sejarah. Maka, sesungguhnya Indonesia mempunyai akar sejarah Islam yang kuat dan menjadi motor utama dari perwujudan Identitas Ke-Indonesiaan tersebut.

Pertama, sejak abad ke-11 ketika peradaban Islam membangun dunia, Nusantara telah berinteraksi dengan Islam secara kuat. Puncaknya pada abad ke-13 sampai abad ke-15, Islam menjadi identitas Nusantara dengan berdirinya kerajaan Islam di bawah kekhalifahan Turki Utsmani yang mewujudkan kesejahteraan waktu itu. Hampir di setiap tempat yang dinamakan Indonesia sekarang adalah kerajaan Islam yang menerapkan Islam sebagai hukum positif dan identitasnya. Termasuk penggunaan bahasa Arab sebagai salah satu bahasa pengantarnya yang kemudian terlihat dari wujud bahasa Indonesia (Melayu) yang mengadopsi perbendaharaan kata dari bahasa Arab.

Kedua, pasca kedatangan penjajah Eropa dengan penindasan kapitalis dan kebiadaban materialis, Indonesia dahulu mengalami goncangan yang sangat hebat. Kemakmuran dibawah kerajaan Islam saat itu berubah menjadi kesengsaraan dan kebodohan. Perdagangan Internasional terhambat karena praktek monopoli dagang penjajah. Di sisi lain, kestabilan ekonomi dan politik dihancurkan penjajah dengan politik adu domba. Hasilnya, muncullah penguasa di berbagai kerajaan Islam di Nusantara yang kala itu bukannya memihak rakyat, tetapi justru memihak penjajah.

Puncaknya, dalam peperangan Diponegoro, kekuatan rakyat dan para pemimpinnya berusaha mengembalikan kesejahteraan dan identitas Islam di Nusantara.namun, perang totaliter itu dimenangkan penjajah dan para sekutunya dari kalangan pribumi. Namun, kemenangan mereka bukan kemenangan mutlak, karena ternyata 3 atau 4 generasi setelah itu, perjuangan suci itu muncul kembali dengan lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi SI sebagai peletak dasar utama dan pertama dalam identitas ke-Indonesiaan di abad ke-20.

SI menjadi perekat muslim di Nusantara yang saat iru menjadi warga kelas tiga karena kemusliman mereka. Bahkan ikatannya melampaui batas teritori yang sekarang menjadi Indonesia. Namun, respon penjajah yang diberikan kini berbeda dengan respon yang biasa diberikan pra perang Diponegoro. Dari perang Diponegoro, penjajah paham bahwa keuntungan yang sesungguhnya adalah pada saat Nusantara dapat melayani kebutuhan mereka meskipun mereka tidak politik etis dan diimporlah ideologi memerintah secara langsung. Maka muncullah politik etis dan masuknya ideologi kapitalisme, marxisme, materialisme, paham evolusi serta berbagai pemikiran lainnya yang membuat Nusantara harus bergantung secara kepribadian dan integritasnya kepada penjajah.

Maka, dengan kolaborasi yang sangat canggih itu, penjajah mematahkan kembali cita-cita yang tak pernah henti dari para pahlawan yang terus dipertahankan dari abad ke-13 tersebut. Tanpa perlu pembahasan yang panjang lebar, Indonesia lahir sebagai negara-bangsa. Islam menjadi motor utama dalam melahirkan dan mempertahankannya. Di bpupki, meski jumlah perwakilan Islam hanya seperempat dari total seluruh anggota, namun memberikan identitas utama dalam ke-Indonesiaan dengan lahirnya Piagam Jakarta. Revolusi Indonesia sebagai revolusi Islam (Hamka: 1980), digerakkan oleh takbir dan pengumuman kewajiban berjihad oleh para pemimpin Islam. Hasilnya peperangan Surabaya, Ambarawa dan lainnya yang bisa mempertahankan Indonesia. Namun seperti sejarah sebelumnya, penjajah selalu tidak senang dengan hal tersebut.

Maka muncullah sepanjang 5-6 dekade selepas kemerdekaaan Indonesia, intervensi dari penjajah dengan neokolonialismenya. Dan terhitung, ideologi impor dari mulai komunisme dan kapitalisme menghasilkan kesejahteraan dan keamanan di negeri penjajah dan hanya menyisihkan kebodohan serta kesengsaraan di nusantara. Sayangnya, banyak yang belum menyadari kenyataan sejarah dan realitas ini.

Pasca reformasi, rakyat Indonesia mulai kembali membangun kejayaaannya dengan Islam. Etika pergaulan, kehidupan sosial dan kenegaraan mulai dibenahi dengan kesesuaian karakter asli ke- Indonesiaan. Seperti sudah bisa ditebak, penjajah mengirim berbagai paham baru untuk mencegah kejayaan tersebut. Paham multikulturalisme, pluralisme, feminisme liberalisme serta paham lainnya yang membingungkan di kalangan rakyat Indonesia. Bahkan, Islam kini dicitrakan sebagai terorisme. Diponegoro, bisa dipastikan bila hari ini masih hidup akan dikatakan sebagai teroris. Begitu juga dengan Imam Bonjol, Tjut Nyak Dien dan pahlawan lainnya.

Berangkat dari kesadaran sejarah dan realitas itu, perdebatan tentang formalisasi syariat Islam, sesungguhnya adalah perdebatan antara kesejahteraan dan kesengsaraan. Tinggal memilih, hendak menyengsarakan dan mensejahterakan siapa? Apakah mensejahterakan penjajah atau menyengsarakan penjajah atau sebaliknya?, hanya orang cerdas yang mampu untuk memberikan jawaban yang tepat.


-Randi Muchariman-

Penggiat Ulul Albab Center (UAC)


Tidak ada komentar: