MAJALAH KURMA
EDISI DZULQA'DAH 1428 H
PROBLEM FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI TENGAH PLURALITAS BANGSA
Tegaknya ajaran agama atau ideologi yang dianut di muka bumi. Saya menyangsikan jika seorang penganut agama atau ideologi apapun di dalam hatinya tidak terbersit keinginan tersebut. Demikian juga dengan kaum muslimin, siapapun dia, pasti keinginan itu ada meskipun interpretasi terhadap tegaknya makna 'tegaknya ajaran agama' belum tentu sama.
Berkaitan dengan tegaknya ajaran agama Islam, umat Islam dihadapkan pada persoalan seperti apa dan bagaimana metode menegakkan syariat Islam. Apakah ajaran Islam yang hendak ditegakkan perlu dikontekstualisasi atau tidak? Apakah dalam penegakan syariat Islam perlu diformalkan melalui negara Islam atau negara nehara yang bersifat sekuler? Beberapa pertanyaan tersebut muncul ke permukaan dalam debat penegakan syariat Islam.
Menjawab persoalan tersebut, diantara umat Islam terjadi perbedaan. Sebagian umat Islam menginginkan kontekstualisasi ajaran Islam dan tidak melibatkan negara dalam penegakannya. Kelompok ini beberapa sering menyebut dirinya sebagai ' Islam liberal', ' Islam transformatif' atau ' Islam modernis'. Sementara itu sebagian menginginkan 'ajaran Islam sebagaimana adanya' dan menginginkan syariat Islam diformalkan oleh negara. Kelompok ini sering diberi label yang tendensius sebagai 'fundamentalis' atau 'kelompok formalis', suatu label yang sesungguhnya tidak tepat.
Apabila ditelisik dalam sejarah Indonesia, ketegangan diantara kedua kelompok tersebut terus mengemuka di banyak momentum dan kesempatan. Bahkan, sebagai konsekuensi masyarakat Indonesia yang plural ketegangan itu melibatkan komunitas di luar Islam. Beberapa momen ketegangan dapat dilihat dari detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaaan, sidang konstituante, tiap momentum pemilu, sampai pada empat kali sidang amandemen UUD 1945. fenomena paling kontemporer adalah kontroversi penerapan 'Peraturan Daerah Syariat Islam' di 22 kabupaten/kota di Indonesia yang dipersoalkan 56 anggota DPR.
Terkait dengan masyarakat Indonesia yang plural, ada tiga persoalan serius yang harus dijawab oleh mereka yang setuju dengan formalisasi syariat Islam. Persoalan itu adalah posisi kewarganegaraan, daya jangkau berlakunya Islam, dan toleransi pluralitas bermadzab di internal umat Islam sendiri.
***
Pada persoalan pertama, sebagian umat Islam mendefinisikan posisi kewarganegaraan seseorang adalah dari keyakinan yang dipeluknya. Melalui konsep dzimmi, umat Islam diletakkan sebagai warga kelas satu dan yang lain sebagai warga negara inferior. Konsep dzimmi memilah manusia pada tiga kategori yaitu Muslim, Ahlul Kitab dan Kafir. Skema dasar dari konsep ini, menurut An-Na'im (2007:201), adalah muslim yang berhak menjadi anggota penuh komunitas politik, sehingga Ahlul Kitab sebagai anggota tidak penuh dan Kafir tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkan pengakuan hukum atau perlindungan kecuali perlindungan kontemporer karena alasan-alasan praktis seperti perniagaan dan diplomasi. Konsep dzimmi menandakan adanya perlindungan negara terhadap hak-hak dasar dan otonomi komunal yang terbatas bagi masyarakat masyarakat non-Muslim (ahl al dzimmah) sebagai konsesi atas pengakuan mereka atas kedaulatan Muslim (Ibid, 199). menurut an0-Naim, dalam konsep dzimmi ahlul kitab mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan hartanya, kebebasan untuk melakukan kewajiban agamanya dengan otonomi komunal dan privat untuk mengelola urusan-urusan internalnya. Sebagai balasan, komunitas Ahlul Kitab harus membayar pajak (jizyah) dan mematuhi perjanjian yang mereka buat dengan negara. Posisi kewarganegaraan dalam perspektif tersebut diatas tentu saja berlawanan secara diametral dengan kewarganegaraan dalam konsep negara bangsa yang dianut Indonesia. Pada negara bangsa, seluruh warga negara memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sejajar. Tidak ada hierarki, diskriminasi, pemaksaan dan superioritas terhadap satu kelompok masyarakat oleh kelompok masyarakat yang lainkarena perbedaan keyakinan. Semua warga negara berhak untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan publik, tanpa pengecualian.
Pada persoalan kedua, yaitu daya jangkau berlakunya syariat Islam, timbul pertanyaan apakah implementasi syariat Islam dikhususkan kepada umat Islam semata, atau melingkupi seluruh kelompok di luar umat Islam. Apabila daya jangkau syariat Islam terbatas pada umat Islam semata, maka pluralisme hukum nasional menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Selain itu, kelompok masyarakat selain umat Islam juga mesti diberikan haknya jika menginginkan pelaksanaan syariat berdasarkan keyakinan dan adat istiadatnya.
Sebaliknya, apabila daya jangkau syariat Islam meliputi seluruh klompok di luar umat Islam atau dengan kata lain syariat Islam menjadi hukum nasional akan terjadi konflik identitas dari kelompok masyarakat di luar umat Islam. Bayangan terjadinya konflik seperti itu seperti yang terjadi pada diri umat Islam yang memperjuangkan formalisasi syariat. Konflik itu dalam tingkat paling rendah adalah perasaan tereksklusi. Dampak atas situasi tersebut adalah komunitas di luar Islam tidak akan berperan signifikan.
Problem terakhir atas agenda formalisasi syariat Islam adalah toleransi 'pluralitas bermaddzab' di internal umat Islam sendiri. Ketiak terjadi formalisasi, kontestasi madzab menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Persoalannya adalah sejauh mana toleransi antara madzab yang memenangkan kontestasi dengan yang kalah. Pertanyaan ini penting diajukan karena ada kecenderungan intoleransi terhadap pemikiran yang berbeda sering dihakimi secara semena-mena.
***
sebagai catatan akhir, di luar ketiga persoalan yang dibahas diatas, formalisasi syariat Islam pada masyarakat plural juga kan problematik pada proses legalisasi atau pembangunan konsensus. Dengan memanfaatkan peluang yang ada pada demokrasi liberal, besar kemungkinan akan timbul diktator mayoritas. Atas nama suara mayoritas , partisipasi dan aspirasi dari kelompok-kelompok minoritas 0-baik di dalam umat Islam maupun di luar Islam- boleh jadi diabaikan.
Tetapi harus diingat pula bahwa atas nama partisispasi oleh demokrasi yang egaliter , tidak boleh terjadi tirani minoritas. Minoritas perlu juga menghargai aspirasi mayoritas. Yang terpenting dalam relasi ini adalah proses konsensus untuk saling menghargai dan menjaga eksistensi secara kreatif. Begitu kompleknya persoalan yang melingkupi agenda formalisasi syariat Islam maka bagi mereka yang menjadikannya sebagai agenda aksi perlu secara sangat hati-hati mengambil langkah.
Sigit Pamungkas
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar