MAJALAH KURMA
EDISI DZULQA'DAH 1428 H
BERJALAN DENGAN KEMANDIRIAN
SEBUAH RENUNGAN DARI ABU DZAR AL-GHIFARI
Dia berjalan sendirian, akan meninggal sendirian dan dibangkitkan sendirian. Itulah ungkapan Rasulullah saw untuk Abu Dzar al-Ghifari. Saat itu Rasulullah bersama pasukan Islam sedang istirahat di Tabuk. Ketika Abu Dzar hendak berangkat ke Tabuk, Rasulullah dengan pasukannya sudah meninggalkan kota Madinah. Sementara Abu Dzar masih terus mencari-cari perbekalan yang akan ia bawa dan kendaraan. Namun yang ia dapatkan hanya seekor keledai lemah. Tak palah, ia berharap keledai itu bias membawa perbekalan, meski ia harus berjalan.
Apa hendak dikata, belum jauh berjalan, binatang itu sudah loyo dan memperlambat perjalanan Abu Dzar. Itu pun tak bertahan lama. Akhirnya, ia panggul barang bawaannya dan membiarkan keledai itu pergi. Maka sahabat yang agung ini berjalan kaki sendirian menyusul rombongan Rasulullah. Saat itulah, dari kejauhan Rasulullah melihat sebuah titik hitam. Rasulullah yakin, itu adalah Abu Dzar. Lalu keluarlah ucapan beliau diatas.
Abu Dzar adalah contoh sebuah perjuangan dalam kesendirian, symbol betapa perjuangan harus tetap berjalan, meski tinggal sendiri tanpa kawan. Seperti kisah perang Tabuk yang sarat pelajaran itu. Saat itu, kas Negara tidak menyimpan banyak uang. Di saat suhu udara panas membakar, tersiar kabar Romawi akan menyerang. Karenanya, untuk pergi ke Tabuk yang jauhnya sekitar 900 Km, kaum muslimin harus membekali dan mempersenjatai diri sendiri.
Al-Quran merekam satu sisi kesulitan yang terjadi saat itu. “Dan tiada (pula dosa bila tidak ikut berperang) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu, lalu mereka kembali, sedang mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan” (QS 9:92).
Betapa sedihnya tak bisa membiayai diri sendiri untuk berangkat bersama Rasulullah. Tapi, di sisi lain, banyak pengecut-pengecut yang memanfaatkan firman Allah tersebut. Tentu saja orang munafik semakin merasa mendapat “legitimasi” untuk tidak ikut berperang. “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu, keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka” (QS 9: 42).
Bagi orang-orang munafik, perang Tabuk, seperti perang-perang lainnya, penuh ketidakpastian. Pengorbanan, kesulitan dan bahkan kematian sudah pasti. Sementara kompensasi material dari segala pengorbanan itu, bagi mereka belumlah pasti. Mereka menganggap pengorbanan apapun akan sia-sia, kecuali berefek langsung pada perolehan hal-hal yang bersifat duniawi.
Bandingkan dengan Abu Dzar. Jarak yang sama, tingkat kesulitan yang sama, ia tempuh tanpa keluh kesah, tanpa rasa berat, walaupun terik matahari panas membakar. Ia menempuh jarak 900 Km, berjalan kaki sendirian. Abu Dzar memang istimewa.
Renungan dari sosok Abu Dzar
Hari-hari ini berbagai belahan bumi Islam sedang merana. Menanti para pejuang yang akan mengulang sejarah emas perang Tabuk, terutama keteladanan sosok Abu Dzar. Saat semangat kolektivitas tak bias diharapkan, maka kepedulian pribadilah yang bisa jadi tumpuan. Ketika berbagai lembaga, organisasi, instititusi, atau apapun tak banyak membantu perjuangan, maka semangat seorang dirilah yang mampu menyambung nyawa perjuangan.
Banyak orang mengeluhkan kurangnya sumber daya manusia. Mereka juga suka ‘merintih’ tentang kurangnya dukungan financial. Fasilitas yang minim sering dikambinghitamkan dalam persoalan beratnya perjuangan Islam. Memang, tak mungkin menutup mata dari semua realitas itu. Tapi, pernahkah perjuangan berlalu tanpa beban? Karenanya, sosok Abu Dzar, tak sekedar ditafsirkan semangat kesendirian. Tapi lebih dari itu, adalah etos kemandirian yang luar biasa dari seorang Abu Dzar. Dalam segala keterbatasannya, ia tak mau merepotkan orang lain. Apalagi sampai “menggunting dalam lipatan”.
Sosok Abu Dzar juga mengingatkan kita akan satu hal yang sangat mendasar dalam perjuangan Islam, yakni ikhlas. Dengan ikhlas, seorang muslim menyadari bahwa tak ada pengorbanan yang sia-sia di mata Allah. Semua jerih payah akan diganti oleh Allah dengan imbalan yang berlipat ganda. Simaklah janji Allah dalam QS At Taubah 120: “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”.
Selain itu, di tengah perjuangan, sering muncul kecemburuan, ketersinggungan, karena senioritas dan hal lainnya. karenanya, dengan hati yang ikhlas, semua itu Insya Allah bisa dihilangkan. Rasa cemburu hanya membuka front dengan pihak yang sebetulnya bukan untuk dimusuhi. Dengan ikhlas, perjuangan Islam tidak akan disibukkan intrik-intrik atau konflik duniawi. Maka, jika ada yang harus dibenahi pada perjuangan Islam saat ini, pastikanlah nomoir satunya adalah penempaan jiwa ikhlas di setiap personel. Siap berjuang, meski hanya tinggal seorang. Yang tidak pernah terlalu berharap pada orang lain, mengandalkan, apalagi bergantung kepada orang lain. Wallahu A’lam bi showab.
Rizki Indrajaya
Ketua Umum Jama'ah Muslim Fisipol (JMF) 2007-2008
Sabtu, 21 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar