1 MEI 2009/1Jumadil Awal 1430 H
Budi Utomo didirikan di Hindia Belanda alias Indonesia tempo doeloe. Organisasi ini dikatakan merupakan pemula dan pemantik munculnya organisasi-organisai lainnya yang memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur nonsenjata.Karena itulah, tanggal berdirinya Budi Utomo, yaitu 20 mei ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Belakangan, diketahui ternyata Budi Utomo tak sehebat yang kita baca dari buku-buku sejarah, terutama dalam sikapnya terhadap agama islam dan bahkan penjajahan Belanda serta nasionalisme itu sendiri.
Awalnya adalah ketika K.H. Firdaus AN mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam (lahir 1924 M) memberikan sebuah buku kepada Rizki Ridyasmara, seorang penulis buku-buku Islam. Pada Februari 2003 M lalu. Buku tersebut berjudul Syarikat Islam bukan Budi Utomo : meluruskan sejarah Pergerakan Bangsa. Buku tersebut menyingkap hakikat Budi Utomo yang sebenarnya.
Jika Kebangkitan Nasional dikaitkan dengan BO, wajar saja kalau kita menyangka BO selalu memakai bahasa Belanda, baik pada AD/ART mereka maupun rapat-rapat mereka.
“Tidak pernah sekalipun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup Orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Rat u Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan,” papar K.H. Firdaus A.N.
Di dalam Pasal 2 Anggaran dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Inilah tujuang BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo yang kemudian keduanya hengkang dari BO.
Freemason yang Menyerang Islam
Tak hanya bersifat kedaerahan, sebagian tokoh-tokoh BO menganggap Islam sebagai halangan. Isu sikap anti agama BO dibenarkan oleh sejarawan Hamid Algadrie dan DR. Rajiman. Ini sebagian contohnya yang terungkap :
Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, didalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata , “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya… sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.
Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr.Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan dalam majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”' “Buanglah Ka'bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M.S.) Al-Lisan nomor 24, 1938.
Tak heran, sebagian tokoh penting BO adalah orang-orang Freemasonry Hindia Belanda. Ketua pertama BO yakni raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang Freemansory. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.
Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo.hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” karya Dr. Th.Stevens, sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Belakangan, diketahui ternyata Budi Utomo tak sehebat yang kita baca dari buku-buku sejarah, terutama dalam sikapnya terhadap agama islam dan bahkan penjajahan Belanda serta nasionalisme itu sendiri.
Awalnya adalah ketika K.H. Firdaus AN mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam (lahir 1924 M) memberikan sebuah buku kepada Rizki Ridyasmara, seorang penulis buku-buku Islam. Pada Februari 2003 M lalu. Buku tersebut berjudul Syarikat Islam bukan Budi Utomo : meluruskan sejarah Pergerakan Bangsa. Buku tersebut menyingkap hakikat Budi Utomo yang sebenarnya.
Jika Kebangkitan Nasional dikaitkan dengan BO, wajar saja kalau kita menyangka BO selalu memakai bahasa Belanda, baik pada AD/ART mereka maupun rapat-rapat mereka.
“Tidak pernah sekalipun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup Orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Rat u Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan,” papar K.H. Firdaus A.N.
Di dalam Pasal 2 Anggaran dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Inilah tujuang BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo yang kemudian keduanya hengkang dari BO.
Freemason yang Menyerang Islam
Tak hanya bersifat kedaerahan, sebagian tokoh-tokoh BO menganggap Islam sebagai halangan. Isu sikap anti agama BO dibenarkan oleh sejarawan Hamid Algadrie dan DR. Rajiman. Ini sebagian contohnya yang terungkap :
Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, didalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata , “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya… sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.
Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr.Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan dalam majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”' “Buanglah Ka'bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M.S.) Al-Lisan nomor 24, 1938.
Tak heran, sebagian tokoh penting BO adalah orang-orang Freemasonry Hindia Belanda. Ketua pertama BO yakni raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang Freemansory. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.
Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo.hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” karya Dr. Th.Stevens, sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Lain BO lain SI
Tiga tahun sebelum BO berdiri, berdirilah Sarekat Islam sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam- tepatnya pada 16 Oktober 1905. jika BO hanya terbuka untuk kaum ningrat dan feudal Jawa–Madura, keanggotaan SI terbuka untuk seluruh rakyat Indonesia yang mayoritasnya muslim. Karena itulah, pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti : Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Ingin mencari gelar siapa yang lebih nasionalis, jelas SI lebih nasionalis.
Kenasionalan SI juga terlihat pada tujuannya. BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan kaum Jawa Madura. Sedangkan SI bertujuan mewujudkan Indonesia raya. BO bersifat feudal dan keningratan. SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan.
Sikap anti-Belanda SI juga jelas kelihatan. Jika BO menulis AD-nya dengan bahasa Belanda, maka anggaran dasar SI ditulis dengan bahasa Indonesia. BO menggalang kerjasama dengan Belanda, tentu saja ini disebabkan tokoh-tokohnya merupakan priyayi pegawai penjajah Belanda. Berbeda dengan SI yang kebanyakan berasal dari pedagang muslim, mereka bersifat non kooperatif dan anti penjajahan Belanda.
Sejarah SI pun lumayan panjang, lebih panjang dari sejarah BO. SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan sempat ikut mengenyam detik-detik menjebol penjajahan Belanda merebut kemerdekaan Indonesia. Sepuluh tahun sebelum proklamasi, yaitu tahun 1935 M, BO sudah membubarkan diri. Walhasil, dengan sikapnya yang begitu anti-Belanda, SI kerap berhadapan dengan tangan kejam penjajah kafir Belanda. Beberapa kerusuhan –seperti pemogokan buruh di Mangkunegaran Solo, bentrokan dengan pedagang Cina di Solo, pemberontakan Jambi September 1916- menurut penguasa saat itu disebabkan oleh aktivitas SI. Anggota SI banyak yang ditangkap, dimasukkan ke penjara. Mereka ditembak mati oleh Belanda. Banyak pula anggota yang dibuang ke Digul, Irian (Papua sekarang). Berbeda dengan BO. Karena mereka adalah kaum ningrat priyayi pegawai Belanda, otomatis sikap represif penjajah tidak mereka rasakan.
Sebenarnya 16 Oktober atau hari berdirinya Sarekat Islam lebih cocok ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selain lebih dulu munculnya, SI lebih nasionalis dan lebih memperjuangkan kemerdekaan nasional.
Tentu sebagai muslim muda plus bangsa Indonesia kita lebih bersimpati kepada SI yang nggak anti Islam dan berpikir lebih jauh nggak cuma mikirin suku tertentu, tapi mikirin rakyat se-Indonesia
Mengganti Hari Kebangkitan Nasional memang bukan wewenang kita. Memperingatinya juga bukan kewajiban seorang muslim. Hanya saja, dengan catatan dari K.H. Firdaus A.N.,kita jadi tahu sebenarnya umat Islam negeri kita punya peran penting dalam melawan kafir penjajah. Namun, karena ada pihak-pihak tertentu yang nggak suka dengan umat Islam, peran itu pun ditutup-tutupi sehingga kita nggak tahu. Semoga kejadian seperti ini membuat kita lebih waspada terhadap makar orang-orang yang benci terhadap Islam.
Kenasionalan SI juga terlihat pada tujuannya. BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan kaum Jawa Madura. Sedangkan SI bertujuan mewujudkan Indonesia raya. BO bersifat feudal dan keningratan. SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan.
Sikap anti-Belanda SI juga jelas kelihatan. Jika BO menulis AD-nya dengan bahasa Belanda, maka anggaran dasar SI ditulis dengan bahasa Indonesia. BO menggalang kerjasama dengan Belanda, tentu saja ini disebabkan tokoh-tokohnya merupakan priyayi pegawai penjajah Belanda. Berbeda dengan SI yang kebanyakan berasal dari pedagang muslim, mereka bersifat non kooperatif dan anti penjajahan Belanda.
Sejarah SI pun lumayan panjang, lebih panjang dari sejarah BO. SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan sempat ikut mengenyam detik-detik menjebol penjajahan Belanda merebut kemerdekaan Indonesia. Sepuluh tahun sebelum proklamasi, yaitu tahun 1935 M, BO sudah membubarkan diri. Walhasil, dengan sikapnya yang begitu anti-Belanda, SI kerap berhadapan dengan tangan kejam penjajah kafir Belanda. Beberapa kerusuhan –seperti pemogokan buruh di Mangkunegaran Solo, bentrokan dengan pedagang Cina di Solo, pemberontakan Jambi September 1916- menurut penguasa saat itu disebabkan oleh aktivitas SI. Anggota SI banyak yang ditangkap, dimasukkan ke penjara. Mereka ditembak mati oleh Belanda. Banyak pula anggota yang dibuang ke Digul, Irian (Papua sekarang). Berbeda dengan BO. Karena mereka adalah kaum ningrat priyayi pegawai Belanda, otomatis sikap represif penjajah tidak mereka rasakan.
Sebenarnya 16 Oktober atau hari berdirinya Sarekat Islam lebih cocok ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selain lebih dulu munculnya, SI lebih nasionalis dan lebih memperjuangkan kemerdekaan nasional.
Tentu sebagai muslim muda plus bangsa Indonesia kita lebih bersimpati kepada SI yang nggak anti Islam dan berpikir lebih jauh nggak cuma mikirin suku tertentu, tapi mikirin rakyat se-Indonesia
Mengganti Hari Kebangkitan Nasional memang bukan wewenang kita. Memperingatinya juga bukan kewajiban seorang muslim. Hanya saja, dengan catatan dari K.H. Firdaus A.N.,kita jadi tahu sebenarnya umat Islam negeri kita punya peran penting dalam melawan kafir penjajah. Namun, karena ada pihak-pihak tertentu yang nggak suka dengan umat Islam, peran itu pun ditutup-tutupi sehingga kita nggak tahu. Semoga kejadian seperti ini membuat kita lebih waspada terhadap makar orang-orang yang benci terhadap Islam.
1 komentar:
sumber?
Posting Komentar