Kedatangan Islam di bumi pertiwi Indonesia dilakukan melalui ‘jalan bawah’ dengan pendekatan budaya. Maksudnya dilakukan secara damai, melalui hubungan dagang sekaligus syi’ar Islam. Dengan cara demikian Islam mudah diterima oleh rakyat setempat. Berbeda dengan bangsa Eropa (Portugis dengan semboyan Gold, Gospel, Glory dan Belanda) yang menggunakan senjata. Mereka datang dengan maksud menjajah. Sehingga rakyat berusaha melawan setelah menyadari maksud mereka.
Semangat Ruhul Islam
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia terbagi dalam beberapa fase. Yakni perang dengan menggunakan senjata, perang secara organisasi, hingga masa-masa perwujudan kemerdekaan Indonesia. Fase pertama dimulai pada masa kedatangan Portugis, di mana kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia pada masa itu tengah berjaya. Para pemimpin kerajaan Islam serta mayoritas rakyatnya yang menganut Islam mendasari perjuangan mereka dengan semangat “RUHUL ISLAM” yaitu :
1. Jihad fi Sabilillah, Dengan semangat Jihad, umat akan melawan penjajah yang dlolim, termasuk perang suci, bila wafat syahid, sorga imbalannya.
2. Ijin Berperang Dari Allah SWT. (Q.S. Al Haj : 39) “ Telah diijinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, sesungguhnya mereka itu dijajah/ditindas, maka Allah akan membela mereka ( yg diperangi dan ditindas )”.
3. Symbolbegrijpen (Simbol kalimat yang dapat menggerakkan rakyat), yaitu “TAKBIR” Allahu Akbar, selalu berkumandang dalam era perjuangan umat Islam di Indonesia.
4. “Khubul Wathon minal Iman”, cinta tanah air sebagian dari Iman, menjadikan semangat Partiotik bagi umat Islam dalam melawan penjajahan. Dengan demikian ajaran Islam yang sudah merakyat di Indonesia ini, punya peranan yang sangat penting, berjasa, dan tidak dapat diabaikan dalam perjuangan di Indonesia.
Perjuangan para mujahid Islam yang cukup fenomenal ialah perang Sabil di Aceh, perang Diponegoro, dan Perang Paderi di Sumatera Barat. Pertempuran-pertempuran tersebut berhasil menumbangkan penjajah hingga mereka menelan kekalahan yang cukup besar. Dalam perjuangan di kawasan Nusantara, khususnya Indonesia yang mayoritas penduduknya muslimin, peranan Ajaran Islam dan sekaligus Umat Islamnya punya arti yang sangat penting dan tidak dapat dihapus dalam panggung sejarah Indonesia.
Kaum Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler
Beberapa agenda Belanda selama menjajah Indonesia tak hanya berwujud perang fisik dengan menggunakan senjata. Dalam beberapa kesempatan mereka menggunakan siasat-siasat politik untuk memperdaya rakyat Indonesia. Di antaranya adalah Politik Balas Budi yang dikampanyekan oleh Van Deventer, terbukti penyalahgunaannya. Politik Deislamisasi juga dilakukan Belanda untuk menggembosi kekuatan rakyat. Siasat ini dilakukan dengan cara-cara halus melalui budaya, pendidikan.
Keberhasilan siasat politik Belanda untuk memperdaya rakyat memang tak serta merta mendapat hasil dalam waktu yang singkat. Akan tetapi beberapa tahun kemudian, pada masa perjuangan organisasi, muncullah bibit-bibit pro-kolonial, yakni mereka para tokoh-tokoh nasional yang justru kemudian berpihak kepada Belanda. Mereka yang memiliki latar belakang pendidikan Belanda, yang kemudian berhadapan dengan tokoh Islam yang bertahan menolak diplomasi dengam penjajah. Dua pihak yang saling berseteru tersebut kemudian mengindikasikan dua kekuatan besar yang berpengaruh pada masa depan bangsa Indonesia, Kubu Nasionalisme Islam dan Nasionalisme Sekuler perjuangan mereka tumbuh dalam organisasi-organisasi pergerakan nasional.
Sebagai salah satu yang penting pelopor awal Pergerakan Nasional di Indonesia ialah umat Islam, yaitu pada tanggal 16 Oktober 1905, lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian th. 1912 jadi Sarekat Islam (SI), sebagai gerakan Ekonomi dan politik. Pada Tanggl 18 November 1912 lahir Muhammadiyah sebagai gerakan Sosial Keagamaan, dari lembaga pendidikannya menghasilkan pimpinan bangsa Indonesia yang menentang Belanda,kemudian selanjutnya Jami’atul Khoir, Al Irsyad, Jong Islamieten Bond (1922), Persatuan Islam (Persis) th. 1920, Nahdlotul Ulama ( 1926 ), dan lainnya adalah dalam kategori nasionalis Islami, yang kesemuanya punya andil dalam melawan Belanda. Di samping itu lahirlah Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische Partij (1912), Jong Java, PKI, Perhimpunan Indonesia (PI), PNI (1927) dan sebagainya, adalah dalam kategori nasionalis sekuler. ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta: 22 Juni 1945. Thesis di Mac Gill University, Canada ).
Perjanjian Luhur dalam Piagam Jakarta
Menghadapi sisa kekuatan penjajah dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia merupakan saat-saat yang ditunggu oleh kaum Nasionalis baik Islam maupun Sekuler. Sebab rakyat telah terlanjur menaruh harapan kepada para tokoh nasional tersebut untuk segera mengakhiri penderitaan mereka.
Untuk mewujudkan ‘janji’ kemerdekaan Indonesia, Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI. Pada saat mempersiapkan kemerdekaan dalam BPUPKI disidangkan konsep dasar negara, muncul konsep Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang telah diajukan, namun sidang belum menerima, kemudian dibentuklah panitia Ad Hock (9 anggota), yang memutuskan Rumusan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 ( Djakarta Charter ). Gambaran naskah piagam Jakarta tersebut adalah naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ada saat ini, ditambah dengan tujuh kata sakral bagi umat Islam pada sila pertama yaitu “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ir. Soekarno, pada saat itu mengungkapkan bahwa Djakarta Charter merupakan konsensus nasional persatuan antara Kaum Kebangsaan dan Islam).
Namun, pada tanggal 18 Agustus 1845, keputusan itu akhirnya dianulir atas usul seorang opsir Jepang mengatasnamakan utusan dari Indonesia Timur, yang menyatakan bahwa bila kalimat “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak diubah, maka Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan opsir Jepang itulah yang hingga kini masih mengalami perdebatan. Benarkah murni sebagai suara rakyat Indonesia Timur, ataukah hanya sisa kekuatan penjajah untuk tetap mengintervensi bangsa Indonesia.
Bung Hatta lobi dengan para ulama agar dapat mengubah Piagam Djakarta demi persatuan Nasional RI. Pada awalnya para ulama tidak setuju, sebab itu sudah keputusan BPUPKI sebagai konsensus nasional, namun demi toleransi dan menjaga negara RI dari perpecahan, akhirnya disepakati dengan kalimat : “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ (peranan Ki Bagus menempatkan Yang Maha Esa sebagai Taukhid Rakyat Indonesia ). (Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta).
Dampak bagi Umat Islam
Penghapusan tujuh kata sakral dalam sila pertama Pancasila membawa pengaruh bagi posisi umat Islam. Meskipun muslim adalah kelompok mayoritas, kita tetap harus berjalan sesuai aturan main demokrasi, tidak mampu memaksakan hukum Islam bahkan untuk para penganutnya. Hingga muncul sebuah pendapat, seandainya sila pertama tetap bertahan dengan rumusan Piagam Jakarta, mungkin akan lebih mudah menerapkan syari’at Islam di Indonesia saat ini.
Dalam perjalanan sejarahnya, Pancasila tetap terwujud sebagai bagian dari cita-cita mempersatukan seluruh bangsa Indonesia. Bagaimanapun Pancasila telah terlanjur mendarah daging sebagai semangat kebangsaan atau nasionalisme. Kita sebagai umat Islam mestinya tetap mengingat bagaimana peran Islam bagi bangsa ini, serta meneladaninya sebagai semangat persaudaraan, dengan tetap menghargai perbedaan yang ada selama tidak melunturkan identitas dienul Islam kita.
Ahmad Adaby Darban, Drs., SU
Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM
Minggu, 04 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
JMF FAIR N IDHUL ADHA PERLU DITAMPILIN DI SINI NI
Posting Komentar